Terbayang lagi kini, saat ayah tercinta melepas kepergiannya
Walau ada gundah terhias di wajahku, namun aku tetap tabah
Di saat ibu pergi, ketulusan cintamu akan terpatri di sanubari
Do’a keikhlasanku mengantarkan kepergianmu
Ayah,…ibu,…
Kini kubersimpuh di pusara kalian
Maafkan anakmu, tak sempat bahagiakan kalian
Ayah,…ibu,…
Disaat segalanya tlah kurengkuh
Mengapa kalian pergi untuk selamanya?
(Diadaptasi dari “Ayah”-Star5)
Sore ini
langit mendung, awan hitam menghiasi atap langit. Persis seperti perasaan Rei
yang diliputi kesedihan. Hujan rintik dari matanya mengalir deras, tertumpah
ruah tak dapat tertampung lagi. Bagaimana tidak, baru saja dia mengantarkan
kedua orang tuanya ke…… peristirahatan terakhirnya. Ia benar-benar sedih dan
terluka. Sekarang, ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ia benar-benar sendiri. Dan
saat ini, saat ia membutuhkan orang lain, tak ada siapapun di sini. Ia
tenggelam dalam kesunyian dan kesedihan. Kesedihan akan kehilangan orang yang
sangat dicintainya.
Saat ia duduk
termenung, ia dikagetkan dengan suara bel pintunya. Disusul dengan suara orang,
“Permisi”.
Rei segera
keluar kamar dengan hati yang masih terluka. Pakaian hitam masih membungkus
tubuhnya. Saat melewati cermin, ia berhenti sejenak. Lalu memperhatikan
wajahnya yang dibanjiri air mata. Matanya membengkak dan memerah. Segera dia
hapus air matanya, walau tetap saja keluar dengan sendirinya.
“Permisi” Suara
itu terdengar lagi.
“Ya sebentar!”
Dengan berat Rei mrnjawab walau suaranya serak dan gemetar.
Kemudian Rei
membuka pintu, dan melihat ada dua orang di hadapannya, yang tak asing lagi
bagi Rei.
“Oom David” Sapa
Rei kepada lelaki dihadapannya. Lalu ia berpaling pada perempuan di samping
lelaki itu. “Tante Sonia” Sapanya kembali dengan ramah.
“Reisya” Suara
Tante Sonia dengan nada yang lirih.
“Kami turut
berduka cita” Kata Oom David dengan keprihatinan yang mendalam.
Rei merasa
terpukul sekali dengan kata-kata yang sangat di bencinya itu. Dan tiba-tiba
saja ia tak dapat menahan air matanya yang memaksa untuk keluar kembali. Tante
Sonia langsung memeluknya. Sebuah pelukan yang hangat, yang ditunggu-tunggu Rei
sejak tadi.
“Sabar sayang!”
Tante Sonia mencoba menenangkan Rei yang tersedu-sedu di pelukannya.
Kemudian Rei
dipapah menuju ruang tengah oleh Tante Sonia. Merekapun duduk. Air mata Rei
masih mengalir, walau ia mencoba untuk menahannya.
“Kami tau kamu
sedih sekali kehilangan kedua orang tuamu. Kami juga sedih kehilangan Pak Agung
dan Bu Rani, yang jujur dan berjasa untuk kami” ucap Tante Sonia mencoba
menghibur, meskipun Rei merasa tak terhibur.
“Rei, ayah dan
ibumu adalah orang yang sangat baik, kami semua tau itu. Dan kami tak menyangka
kalau mereka….” Oom David menghentikan kata-katanya sejenak, kemudian ia
melanjutkannya kembali. “Kalau mereka akan meninggalkan kita secepat ini”
“Rei, sekarang
kamu akan tinggal sendiri, maukah kamu ikut dengan kami?” Sambung Tante Sonia,
sambil mencengkram kedua tangan Rei.
Rei tercengang
mendengar kata-kata itu, meskipun ia belum tau maksudnya. Ia tak menjawab,
hanya menatap kedua orang yang ada di hadapannya silih berganti.
“Bagaimanapun
juga, kami merasa bertanggungjawab atas musibah yang menimpa kedua orang tuamu”
Oom David menjelaskan. “Seandainya kedua orang tuamu tidak kami kirim ke Surabaya, mungkin musibah
ini tidak akan terjadi” Lanjutnya
Suasana
sejenak hening. Tiba-tiba saja perasaan benci hinggap di hati Rei. Yah, mereka benar, andai saja ayah dan ibu
tidak pergi ke Surabaya atas perintah Oom David, mungkin kecelakaan pesawat itu
tidak akan terjadi. Namun, ia berfikir kembali. Tapi, apakah mereka yang membunuh ayah dan ibu?.....Tidak, bukan mereka.
Sejenak kemudian perasaan benci itu hilang kembali.
“Ini bukan
kesalahan siapapun, mungkin ini sudah menjadi takdir” Ucapnya kemudian pada
orang yang sudah menunggu suaranya sejak tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar