Jumat, 21 September 2012

1 Heart 3 Boys (Bagian 1,part I)

<!--[if gte mso 9]> <![endif]
Terbayang lagi kini, saat ayah tercinta melepas kepergiannya
Walau ada gundah terhias di wajahku, namun aku tetap tabah
Di saat ibu pergi, ketulusan cintamu akan terpatri di sanubari
Do’a keikhlasanku mengantarkan kepergianmu

Ayah,…ibu,…
Kini kubersimpuh di pusara kalian
Maafkan anakmu, tak sempat bahagiakan kalian
Ayah,…ibu,…
Disaat segalanya tlah kurengkuh
Mengapa kalian pergi untuk selamanya?
(Diadaptasi dari “Ayah”-Star5)

Sore ini langit mendung, awan hitam menghiasi atap langit. Persis seperti perasaan Rei yang diliputi kesedihan. Hujan rintik dari matanya mengalir deras, tertumpah ruah tak dapat tertampung lagi. Bagaimana tidak, baru saja dia mengantarkan kedua orang tuanya ke…… peristirahatan terakhirnya. Ia benar-benar sedih dan terluka. Sekarang, ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ia benar-benar sendiri. Dan saat ini, saat ia membutuhkan orang lain, tak ada siapapun di sini. Ia tenggelam dalam kesunyian dan kesedihan. Kesedihan akan kehilangan orang yang sangat dicintainya.
Saat ia duduk termenung, ia dikagetkan dengan suara bel pintunya. Disusul dengan suara orang, “Permisi”.
Rei segera keluar kamar dengan hati yang masih terluka. Pakaian hitam masih membungkus tubuhnya. Saat melewati cermin, ia berhenti sejenak. Lalu memperhatikan wajahnya yang dibanjiri air mata. Matanya membengkak dan memerah. Segera dia hapus air matanya, walau tetap saja keluar dengan sendirinya.
“Permisi” Suara itu terdengar lagi.
“Ya sebentar!” Dengan berat Rei mrnjawab walau suaranya serak dan gemetar.
Kemudian Rei membuka pintu, dan melihat ada dua orang di hadapannya, yang tak asing lagi bagi Rei.
“Oom David” Sapa Rei kepada lelaki dihadapannya. Lalu ia berpaling pada perempuan di samping lelaki itu. “Tante Sonia” Sapanya kembali dengan ramah.
“Reisya” Suara Tante Sonia dengan nada yang lirih.
“Kami turut berduka cita” Kata Oom David dengan keprihatinan yang mendalam.
Rei merasa terpukul sekali dengan kata-kata yang sangat di bencinya itu. Dan tiba-tiba saja ia tak dapat menahan air matanya yang memaksa untuk keluar kembali. Tante Sonia langsung memeluknya. Sebuah pelukan yang hangat, yang ditunggu-tunggu Rei sejak tadi.
“Sabar sayang!” Tante Sonia mencoba menenangkan Rei yang tersedu-sedu di pelukannya.
Kemudian Rei dipapah menuju ruang tengah oleh Tante Sonia. Merekapun duduk. Air mata Rei masih mengalir, walau ia mencoba untuk menahannya.
“Kami tau kamu sedih sekali kehilangan kedua orang tuamu. Kami juga sedih kehilangan Pak Agung dan Bu Rani, yang jujur dan berjasa untuk kami” ucap Tante Sonia mencoba menghibur, meskipun Rei merasa tak terhibur.
“Rei, ayah dan ibumu adalah orang yang sangat baik, kami semua tau itu. Dan kami tak menyangka kalau mereka….” Oom David menghentikan kata-katanya sejenak, kemudian ia melanjutkannya kembali. “Kalau mereka akan meninggalkan kita secepat ini”
“Rei, sekarang kamu akan tinggal sendiri, maukah kamu ikut dengan kami?” Sambung Tante Sonia, sambil mencengkram kedua tangan Rei.
Rei tercengang mendengar kata-kata itu, meskipun ia belum tau maksudnya. Ia tak menjawab, hanya menatap kedua orang yang ada di hadapannya silih berganti.
“Bagaimanapun juga, kami merasa bertanggungjawab atas musibah yang menimpa kedua orang tuamu” Oom David menjelaskan. “Seandainya kedua orang tuamu tidak kami kirim ke Surabaya, mungkin musibah ini tidak akan terjadi” Lanjutnya
Suasana sejenak hening. Tiba-tiba saja perasaan benci hinggap di hati Rei. Yah, mereka benar, andai saja ayah dan ibu tidak pergi ke Surabaya atas perintah Oom David, mungkin kecelakaan pesawat itu tidak akan terjadi. Namun, ia berfikir kembali. Tapi, apakah mereka yang membunuh ayah dan ibu?.....Tidak, bukan mereka. Sejenak kemudian perasaan benci itu hilang kembali.
“Ini bukan kesalahan siapapun, mungkin ini sudah menjadi takdir” Ucapnya kemudian pada orang yang sudah menunggu suaranya sejak tadi.

Bersambung.....
-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar