Selasa, 25 September 2012

1 Heart 3 Boys (Bagian 1 Part III)



 “Kringngnggn” Suara jam weker di kamar Rei mengagetkannya.
“Suara itu?......” Rei langsung terbangun, berharap telah meninggalkan mimpi-mimpi buruknya. “Ayah…ibu…apakah kalian sudah kembali? ayah…ibu…” Rei berteriak memanggil kedua orang tuanya, namun tak ada jawaban apapun.
Ternyata semua yang dilalui Rei bukanlah sebuah mimpi buruk. Rumah ini masih seperti kemarin, sunyi dan sepi.
“Aku benciiii” Teriak Rei sambil membuka jendela kamarnya, lalu menatap pagi yang masih gelap.
Setelah puas menatap kegelapan, ia melihat jam di dindingnya. “Gawat…” Ucapnya. Jam menunjukkan pukul setengah enam, dan Rei segera berlari ke kamar mandi. Setelah itu ia beranjak shalat subuh.
Hati Rei merasa sedikit tenang setelah shalat, walau masih terguncang oleh kejadian kemarin.
“Ya Allah, ampuni aku, aku belum bisa menerima cobaan ini. Ya Allah, ikhlaskan aku untuk kehilangan kedua orang tuaku” Do’anya diakhir shalat.
“Ting-tong” Bel pintu mengusik keheningan dan kekhusuan do’a Rei.
“Siapa yang datang pagi-pagi begini?” Gumamnya sambil merapikan mukena.
Rei segera membuka pintu, dan langsung disapa oleh seorang tukang pos. Rupanya, Rei menerima sepucuk surat. Setelah Rei menerimanya, ia segera masuk kembali ke dalam rumah.
“Ibu Rosi?” Ucapnya setelah melihat nama pengrim di sudut kiri amplop berwarna putih itu. Dengan hati-hati ia membuka amplop itu, dan kemudian membaca isi surat itu.
Setelah ia membaca surat itu, tiba-tiba saja tubuhnya gemetaran, lalu dengan tidak sadar ia berteriak. “Tidaaaak”.
Ternyata isi surat itu adalah peringatan untuk Rei agar segera meninggalkan rumahnya dalam waktu satu minggu. “Baru saja aku mendapat musibah, aku harus menerima satu musibah lagi”. Lutut Rei terasa lemas, ia terduduk kaku tanpa tenaga. Apa yang harus dilakukannya? Rei sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Meskipun ia masih mempunyai kerabat, namun ia tidak mungkin menemui dan meminta bantuan mereka, karena mereka berada di Lampung. Lagi pula, mereka tidak mungkin bisa membantu Rei. Bagaimana bisa, hidup merekapun pasti dalam kesusahan. Rei sangat bingung.
Rei sadar, mungkin sudah dua bulan ini ayahnya belum membayar kontrakan pada Bu Rosi sehingga ia marah. Seperti yang diketahui Rei, sifat Bu Rosi yang galak dan pemarah itu tidak mungkin memberikan toleransi bagi siapa saja yang menunggak kontrakan.
Andai saja Rei tidak sekolah di sekolahan eksekutif seperti sekarang, mungkin ayah tidak akan kesusahan. Uang ayah untuk membayar kontrakan terpaksa dikesampingkan untuk keperluan sekolah Rei, yang serba menuntut kemewahan. Awalnya Rei memang menolak untuk bersekolah di SMA 24, sekolah favorit di kota Bandung. Rei sadar, keadaan ekonomi keluarganya yang sederhana tidak mungkin sanggup memenuhi kebutuhannya di SMA itu, yang kebanyakan ditempati oleh anak-anak orang kaya. Namun, kecerdasannya yang cukup bagus membuat ayahnya rela mengorbankan apapun agar Rei bisa masuk sekolah ter-favorit itu.
Ayah, ibu, apa yang harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi? Rei putus asa, ia tak dapat berbuat apapun.
Ia terdiam lama, duduk bersimpuh tepat di tempat saat ia membaca surat dari Bu Rosi. Setelah lama merenung, munculah satu nama. “Oom David” Rei begitu senang mengucapkan nama itu.
Rei bergegas ke kamar orang tuanya untuk mencari nomor telepon Oom David. Setelah lama mengacak-acak buku telepon ayahnya, akhirnya ia menemukan nama itu. Tanpa lama lagi, ia langsung memencet nomor yang tertera di samping nama David Herlambang.
“Tut…Tut…Tut…” Angkatlah, aku mohon, pinta Rei dalam hati sambil menunggu teleponnya terangkat.
“Hallo” Suara ramah menyapa dari seberang telepon. Itu pasti Tante Sonia.
“Tante….” Jawab Rei dengan nada gemetar. Entah kenapa tiba-tiba kerongkongannya tercekat, dan tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Siapa ini?”
Rei terdiam sejenak, menahan isak tangisnya. “Tante, ini Rei. Oom David ada?” Tanyanya dengan sekuat tenaga menahan tangis.
“Ada. Ada apa Rei?” Rupanya Tante Sonia penasaran juga dengan maksud Rei. Untuk apa ia menanyakan suaminya?
“Saya ingin bertemu kalian berdua” Jawab Rei langsung pada pokok pembicaraan.
“Iya, tapi ada apa?” Dasar Tante Sonia, disaat genting seperti ini masih banyak nanya. Gak tau apa, Rei sudah meneteskan air mata tuh, kebingungan.
“Tante…..” Rei tidak bisa juga menahan isaknya yang tertumpah saat itu juga. Kemudian dengan terbata-bata ia menceritakan semua masalahnya.
Tante Sonia tidak dapat banyak merespon, namun ia tau benar kesedihan Rei. Dan dengan bijaksana, ia berjanji akan menemui Rei secepatnya bersama suaminya.
Akhirnya, lega juga setelah bercerita pada Tante Sonia. Dia memang baik dan pengertian, bijaksana lagi. Rei jadi ingat ibunya. Semoga Allah memberikan tempat yang baik untuk kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar