“Kringngnggn” Suara jam weker di kamar Rei
mengagetkannya.
“Suara
itu?......” Rei langsung terbangun, berharap telah meninggalkan mimpi-mimpi
buruknya. “Ayah…ibu…apakah kalian sudah kembali? ayah…ibu…” Rei berteriak
memanggil kedua orang tuanya, namun tak ada jawaban apapun.
Ternyata semua
yang dilalui Rei bukanlah sebuah mimpi buruk. Rumah ini masih seperti kemarin,
sunyi dan sepi.
“Aku benciiii”
Teriak Rei sambil membuka jendela kamarnya, lalu menatap pagi yang masih gelap.
Setelah puas
menatap kegelapan, ia melihat jam di dindingnya. “Gawat…” Ucapnya. Jam
menunjukkan pukul setengah enam, dan Rei segera berlari ke kamar mandi. Setelah
itu ia beranjak shalat subuh.
Hati Rei
merasa sedikit tenang setelah shalat, walau masih terguncang oleh kejadian
kemarin.
“Ya Allah,
ampuni aku, aku belum bisa menerima cobaan ini. Ya Allah, ikhlaskan aku untuk
kehilangan kedua orang tuaku” Do’anya diakhir shalat.
“Ting-tong” Bel
pintu mengusik keheningan dan kekhusuan do’a Rei.
“Siapa yang
datang pagi-pagi begini?” Gumamnya sambil merapikan mukena.
Rei segera
membuka pintu, dan langsung disapa oleh seorang tukang pos. Rupanya, Rei
menerima sepucuk surat.
Setelah Rei menerimanya, ia segera masuk kembali ke dalam rumah.
“Ibu Rosi?” Ucapnya
setelah melihat nama pengrim di sudut kiri amplop berwarna putih itu. Dengan
hati-hati ia membuka amplop itu, dan kemudian membaca isi surat itu.
Setelah ia
membaca surat
itu, tiba-tiba saja tubuhnya gemetaran, lalu dengan tidak sadar ia berteriak.
“Tidaaaak”.
Ternyata isi
surat itu adalah peringatan untuk Rei agar segera meninggalkan rumahnya dalam
waktu satu minggu. “Baru saja aku mendapat musibah, aku harus menerima satu
musibah lagi”. Lutut Rei terasa lemas, ia terduduk kaku tanpa tenaga. Apa yang
harus dilakukannya? Rei sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Meskipun ia masih
mempunyai kerabat, namun ia tidak mungkin menemui dan meminta bantuan mereka,
karena mereka berada di Lampung. Lagi pula, mereka tidak mungkin bisa membantu
Rei. Bagaimana bisa, hidup merekapun pasti dalam kesusahan. Rei sangat bingung.
Rei sadar,
mungkin sudah dua bulan ini ayahnya belum membayar kontrakan pada Bu Rosi
sehingga ia marah. Seperti yang diketahui Rei, sifat Bu Rosi yang galak dan
pemarah itu tidak mungkin memberikan toleransi bagi siapa saja yang menunggak
kontrakan.
Andai saja Rei
tidak sekolah di sekolahan eksekutif seperti sekarang, mungkin ayah tidak akan
kesusahan. Uang ayah untuk membayar kontrakan terpaksa dikesampingkan untuk
keperluan sekolah Rei, yang serba menuntut kemewahan. Awalnya Rei memang
menolak untuk bersekolah di SMA 24, sekolah favorit di kota Bandung. Rei sadar,
keadaan ekonomi keluarganya yang sederhana tidak mungkin sanggup memenuhi
kebutuhannya di SMA itu, yang kebanyakan ditempati oleh anak-anak orang kaya.
Namun, kecerdasannya yang cukup bagus membuat ayahnya rela mengorbankan apapun
agar Rei bisa masuk sekolah ter-favorit itu.
Ayah, ibu, apa yang harus aku lakukan? Kemana aku
harus pergi? Rei putus asa, ia tak dapat berbuat apapun.
Ia terdiam
lama, duduk bersimpuh tepat di tempat saat ia membaca surat dari Bu Rosi. Setelah lama merenung,
munculah satu nama. “Oom David” Rei begitu senang mengucapkan nama itu.
Rei bergegas
ke kamar orang tuanya untuk mencari nomor telepon Oom David. Setelah lama
mengacak-acak buku telepon ayahnya, akhirnya ia menemukan nama itu. Tanpa lama
lagi, ia langsung memencet nomor yang tertera di samping nama David Herlambang.
“Tut…Tut…Tut…”
Angkatlah, aku mohon, pinta Rei dalam
hati sambil menunggu teleponnya terangkat.
“Hallo” Suara
ramah menyapa dari seberang telepon. Itu pasti Tante Sonia.
“Tante….”
Jawab Rei dengan nada gemetar. Entah kenapa tiba-tiba kerongkongannya tercekat,
dan tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Siapa ini?”
Rei terdiam
sejenak, menahan isak tangisnya. “Tante, ini Rei. Oom David ada?” Tanyanya
dengan sekuat tenaga menahan tangis.
“Ada. Ada apa Rei?” Rupanya Tante Sonia penasaran
juga dengan maksud Rei. Untuk apa ia menanyakan suaminya?
“Saya ingin
bertemu kalian berdua” Jawab Rei langsung pada pokok pembicaraan.
“Iya, tapi ada
apa?” Dasar Tante Sonia, disaat genting seperti ini masih banyak nanya. Gak tau
apa, Rei sudah meneteskan air mata tuh, kebingungan.
“Tante…..” Rei
tidak bisa juga menahan isaknya yang tertumpah saat itu juga. Kemudian dengan
terbata-bata ia menceritakan semua masalahnya.
Tante Sonia
tidak dapat banyak merespon, namun ia tau benar kesedihan Rei. Dan dengan
bijaksana, ia berjanji akan menemui Rei secepatnya bersama suaminya.
Akhirnya, lega
juga setelah bercerita pada Tante Sonia. Dia memang baik dan pengertian,
bijaksana lagi. Rei jadi ingat ibunya. Semoga Allah memberikan tempat yang baik
untuk kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar