Jumat, 28 September 2012

1 Heart 3 Boys (Bagian 1 Part V)



Jam di dinding rumah Rei sudah menunjukkan pukul lima sore, tepat satu jam ia menunggu kedatangan Tante Sonia dan Oom David. Apa mereka ingkar janji? Atau lupa? Rei jadi berperasaan buruk. Namun semuanya hilang setelah ia mendengar suara orang memanggilnya dari luar.
Rei segera menemui orang tersebut. Semoga mereka! Dan benar saja, di depan pintu sudah berdiri dua orang yang sudah dinantinya.
“Silahkan duduk Oom, Tante!” Rei mempersilahkan tamunya dengan ramah.
“Rei, kami tidak mungkin meminjamkan uang seperti permintaan kamu waktu itu di telepon” Ucap Tante Sonia membuka perbincangan. Dengan gayanya yang lembut dan bijak.
Rei sangat kaget mendengarnya. Ia pikir, mereka dapat membantunya. Tapi…
“Kalau kamu pinjam uang untuk melunasi kontrakan kamu sekarang, lalu nanti bagaimana, apa kamu sanggup membayarnya?” Sambung Tante Sonia, yang semakin membuat Rei kaget.
Melihat ekspresi Rei yang kebingungan, Tante Sonia malah tersenyum. Apa-apaan coba, Rei sedih kok malah senyum. Dasar tega.
“Kami hanya bercanda kok, kamu jangan takut begitu. ….” Tante Sonia menghentikan perkataannya dan melihat suaminya, yang dijawab dengan anggukan. “Kamu gak usah mikirin soal kontrakan, nanti kami yang lunasi”.
Uhgh, dasar emang pada tega, Rei lagi bingung malah dibecandain. Lucu. “Terima kasih tante. Saya janji kalau sudah ada uang, nanti saya ganti” Ucap Rei penuh syukur.
“Gak usah” Jawab Tante Sonia singkat.
Wajah Rei berubah lagi. Apaan lagi nih? Masa utang gak usah dibayar? Serius gak seah?
“Kami serius Rei”, lanjut Tante Sonia seolah-olah tau apa yang dipikirkan Rei. “Asal kamu mau ikut ke rumah kami”
Ikut ke rumah mereka? Mau dijadiin jaminan? Emang mau lelang?
“Begini Rei, kami mau mengadopsi kamu. Kamu mau kan?” Oom David angkat bicara.
Nah ini, baru jelas. Gak kayak Tante Sonia, becanda terus bikin Rei bingung. Tapi apa tadi, diadopsi? “Sa-saya gak ngerti Oom” Rei jadi bingung juga.
“Kami akan mengangkat kamu jadi anak kandung kami” Lanjut Oom David
“Tapi_”
“kami akan menyayangi kamu. Jadi jangan khawatir, kami akan menganggap kamu seperti anak kandung kami sendiri” Potong Tante Sonia sebelum Rei memberikan tanggapan.
“Saya benar-benar senang, tapi saya tidak mungkin menerima kebaikan kalian sampai sejauh ini. Saya tidak punya apa-apa untuk membalasnya” Rei jadi terharu juga, gak nyangka mereka bakal sebaik ini.
“Siapa yang minta balas budi? Yang penting sekarang, kamu mau apa tidak?” Tanya Oom David yang terpaksa dijawab Rei dengan anggukan, karena tidak tau harus bilang apa-apa lagi.
“Ya sudah. Kalau begitu, besok kamu pindah ke rumah kami. Nanti urusan adopsi bisa belakangan. Bagaimana?”
“Baik” Jawab Rei lagi-lagi dibarengi dengan anggukan.
Setelah berbincang-bincang ngalor-ngidul, merekapun berpamitan.
Akhirnya, penyelamat hidup Rei telah datang. Rei seneeeeng banget. Mereka emang baiknya selangit deh. Emangnya mereka tinggal di langit?
 Tapi gimana sama anak-anak mereka, ya? Apa mereka mau menerima Rei sebagai saudara mereka? Ahhh….semoga semuanya berjalan lancar. Ayah, Ibu, Akhirnya masalahku selesai juga. Paling tidak, aku terselamatkan dari si nenek sihir Rosi, hehehe…., pikir Rei jail sebelum ia bertemu dengan orang tuanya dalam mimpi.

Rabu, 26 September 2012

1 Heart 3 Boys (Bagian 1 Part IV)



Lelah.
Itulah yang dirasakan Rei beberapa hari ini. Rasanya, ia belum sanggup untuk ke sekolah. Namun, ia sudah dua hari membolos. Walaupun perasaan Rei masih belum kuat, tapi ia tidak boleh mengecewakan kedua orang tuanya untuk menuntut ilmu sebaik-baiknya. Bijak banget ya!
Dengan tegar, Rei berjalan menuju kelasnya, kelas XI IPA 6. Dari ambang pintu, ia meneliti kelasnya yang sudah ramai dengan beberapa pengunjung. Ada yang sibuk dandan, ngerjain PR, atau bahkan ngegosipin artis-artis yang lagi tenar (kayak infotainment-infotainment di Tv itu, lho!!). Kelas ini, Rei sudah rindu sekali.
Begitu Rei memasuki kelas, semua anak yang ada di kelas kontan menghentikan semua aktifitasnya. Semua mata tertuju pada Rei, dengan tatapan penuh duka. Rei sedih sekali melihat pemandangan yang memilukan ini. Tidak, aku tidak boleh menangis! Ucapnya mencoba menegarkan hatinya.
“Reiiii” Seseorang tiba-tiba saja berteriak dari luar kelas, dan langsung memeluk Rei dengan erat.
“Shasa” Ucapnya lirih. Walau Rei berusaha tegar, namun air matanya tak terbendung lagi. Iapun menumpahkannya dipelukan Shasa, sahabat karibnya.
“Rei…hikhikhik….” Shasa yang memang sensitif banget ikut-ikutan nangis sambil mempererat pelukannya. “Gue se-dih banget-sama musibah lo!”
Rei tidak dapat berkomentar apapun, karena ia sangat benci dengan kata-kata itu. Seolah-olah semuanya tidak akan pernah berakhir.
Tak lama kemudian, seseorang menepuk bahu Rei dengan lembut. “Sabar ya, Rei” Terdengar suara yang tidak asing lagi di telinga Rei. Namun ia tak yakin.
Rei lalu melepaskan pelukannya kemudian berbalik melihat orang yang baru saja menghiburnya (sedikit). Seorang anak lelaki berambut spy yang tingginya kira-kira 180 cm berdiri di hadapannya. Badannya yang berisi dan otot-ototnya yang terlihat kuat membuat kesan yang macho banget. Dia adalah Daman, orang yang paling dibenci Rei. Namun saat ini, yang dia lihat bukanlah mata Daman yang penuh dengan ide-ide jail, melainkan mata penuh duka yang mendalam, seola-olah dapat menembus mata Rei yang berlinang air mata.
“Rei, aku tau kamu tidak punya siapa-siapa lagi. Tapi jangan khawatir, aku selalu ada untuk kamu”
“Makasih” Hanya itu yang keluar dari mulut Rei dengan senyuman yang pahit. Ya, mau bilang apa lagi. Tidak mungkin kan, Rei harus bergembira loka mendengar kata-kata “manis” dari si jail itu.
Tujuh jam pelajaran sudah dilalui, namun tidak ada satu pelajaran pun yang menempel di otak Rei. Pikirannya terus terfokus pada hal-hal yang telah dilaluinya. Apalagi hari ini, Tante Sonia berjanji untuk menemuinya. Apa yang harus Rei lakukan?
Bel pulang pun akhirnya berbunyi. Bel yang sangat dinantikan oleh Rei. Tidak biasanya ia begitu lega mendengar bel yang nyaring itu.
Shasa menggandeng Rei menuju tempat parkir. Ia menawarkan untuk mengantar Rei pulang, demi keamanan katanya.  
Begitu mereka sampai di depan mobil Shasa, seseorang tiba-tiba sudah muncul di hadapan Rei.
“Rei, boleh aku antar pulang?” Ajak Daman dengan nada prihatin yang terdengar aneh. Perhatian atau cari perhatian?
Daman mau mengantarkan Rei? Gak salah?. Rei jadi geli sendiri. Bagaimana tidak, untuk bertemu dengannya saja Rei sudah sebel. Apalagi harus duduk di jaguar merah yang mencolok itu bersama DAMAN, orang yang paling Rei benci.
Dari kelas satu saat mereka satu kelas, Daman sudah mati-matian mengejar-ngejar Rei (maksudnya menyukai Rei, bukan main kejar-kejaran). Dengan segala upaya, Daman menarik perhatian Rei yang tak mendapat respon apapun. Pernah suatu hari, berkibar sebuah spanduk sebesar bendera yang bertuliskan “MY GIRL, REI, I LOVE YOU!”. Yang lebih parah, spanduk itu dikibarkan pada waktu apel pagi hari senin, yang disaksikan oleh seluruh siswa, guru, bahkan kepala SMA 24. Gila kan? Dan tentu saja, semua mata langsung tertuju pada satu orang, karena memang hanya satu orang di sekolah itu yang bernama Reisya. Kebayang dong, muka Rei kayak gimana. Sudah pasti malu seeeeeemalu-malunya. Bahkan kalo waktu itu Rei jadi kura-kura, pengen deh memasukkan kepalanya ke dalam tempurung. Amit-amit deh, kalo ngebayanginnya lagi. Bahkan gak sampai disitu, Rei juga diintrogasi sama kepsek selama satu jam. Hampir semua pertanyaan dijawab Rei dengan kata “tidak tau”. Memang dia gak tau apa-apa kok, apa yang harus dijawab?
Dua hari setelah kejadian, dari salah satu anggota pengibar bendera yang di bujuk habis-habisan melalui perjuangan yang keras, akhirnya Rei tau juga pelaku sadis itu. DAMAN SAGARA SAPUTRA.
Dan sekarang, dengan tampang innocent dia mau nganter aku pulang? Sudah pasti jawabannya TIDAK.
“Gak usah, makasih” Jawab Rei dengan nada sedikit lembut. Ia jadi tidak tega juga mau nyemprot Daman dengan kata-kata “Aku gak sudi dianterin sama kamu!” Rei segera menarik tangan Shasa yang sejak tadi hanya bengong kayak orang pikun ngeliatin Daman. Mungkin salut juga, Daman bisa berwajah lembut (pikir Shasa lho, bukan Rei).
Setelah berada di mobil Shasa, Rei menceritakan semua yang dialaminya dua hari ke belakang. Mulai dari kado ultah untuk ibunya, kesedihannya ketika orang tuanya meninggal, surat peringatan Bu Rosi, sampai Oom David dan Tante Sonia. Semuanya diceritakan se-detail mungkin, dengan suara yang terpecah menahan sedih.
“Mungkin, Daman ada benarnya juga. Lo harus sabar!” Entah kenapa malah kata-kata itu yang keluar dari mulu Shasa. Kok jadi belain Daman, ya?
Meskipun bukan jawaban itu yang diinginkan Rei, tapi ia sedikit lega telah mencurahkan perasaannya pada sahabatnya itu. Rei ngerti, pasti Shasa juga bingung harus memberikan nasehat apa. Ini memang masalah yang tak seharusnya diterima seorang anak yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Persoalan ini terlalu sulit untuk dipecahkan, apalagi Rei tinggal sendiri. Mungkin, Rei memilih pasrah saja pada apa yang akan terjadi nanti.

Selasa, 25 September 2012

1 Heart 3 Boys (Bagian 1 Part III)



 “Kringngnggn” Suara jam weker di kamar Rei mengagetkannya.
“Suara itu?......” Rei langsung terbangun, berharap telah meninggalkan mimpi-mimpi buruknya. “Ayah…ibu…apakah kalian sudah kembali? ayah…ibu…” Rei berteriak memanggil kedua orang tuanya, namun tak ada jawaban apapun.
Ternyata semua yang dilalui Rei bukanlah sebuah mimpi buruk. Rumah ini masih seperti kemarin, sunyi dan sepi.
“Aku benciiii” Teriak Rei sambil membuka jendela kamarnya, lalu menatap pagi yang masih gelap.
Setelah puas menatap kegelapan, ia melihat jam di dindingnya. “Gawat…” Ucapnya. Jam menunjukkan pukul setengah enam, dan Rei segera berlari ke kamar mandi. Setelah itu ia beranjak shalat subuh.
Hati Rei merasa sedikit tenang setelah shalat, walau masih terguncang oleh kejadian kemarin.
“Ya Allah, ampuni aku, aku belum bisa menerima cobaan ini. Ya Allah, ikhlaskan aku untuk kehilangan kedua orang tuaku” Do’anya diakhir shalat.
“Ting-tong” Bel pintu mengusik keheningan dan kekhusuan do’a Rei.
“Siapa yang datang pagi-pagi begini?” Gumamnya sambil merapikan mukena.
Rei segera membuka pintu, dan langsung disapa oleh seorang tukang pos. Rupanya, Rei menerima sepucuk surat. Setelah Rei menerimanya, ia segera masuk kembali ke dalam rumah.
“Ibu Rosi?” Ucapnya setelah melihat nama pengrim di sudut kiri amplop berwarna putih itu. Dengan hati-hati ia membuka amplop itu, dan kemudian membaca isi surat itu.
Setelah ia membaca surat itu, tiba-tiba saja tubuhnya gemetaran, lalu dengan tidak sadar ia berteriak. “Tidaaaak”.
Ternyata isi surat itu adalah peringatan untuk Rei agar segera meninggalkan rumahnya dalam waktu satu minggu. “Baru saja aku mendapat musibah, aku harus menerima satu musibah lagi”. Lutut Rei terasa lemas, ia terduduk kaku tanpa tenaga. Apa yang harus dilakukannya? Rei sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Meskipun ia masih mempunyai kerabat, namun ia tidak mungkin menemui dan meminta bantuan mereka, karena mereka berada di Lampung. Lagi pula, mereka tidak mungkin bisa membantu Rei. Bagaimana bisa, hidup merekapun pasti dalam kesusahan. Rei sangat bingung.
Rei sadar, mungkin sudah dua bulan ini ayahnya belum membayar kontrakan pada Bu Rosi sehingga ia marah. Seperti yang diketahui Rei, sifat Bu Rosi yang galak dan pemarah itu tidak mungkin memberikan toleransi bagi siapa saja yang menunggak kontrakan.
Andai saja Rei tidak sekolah di sekolahan eksekutif seperti sekarang, mungkin ayah tidak akan kesusahan. Uang ayah untuk membayar kontrakan terpaksa dikesampingkan untuk keperluan sekolah Rei, yang serba menuntut kemewahan. Awalnya Rei memang menolak untuk bersekolah di SMA 24, sekolah favorit di kota Bandung. Rei sadar, keadaan ekonomi keluarganya yang sederhana tidak mungkin sanggup memenuhi kebutuhannya di SMA itu, yang kebanyakan ditempati oleh anak-anak orang kaya. Namun, kecerdasannya yang cukup bagus membuat ayahnya rela mengorbankan apapun agar Rei bisa masuk sekolah ter-favorit itu.
Ayah, ibu, apa yang harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi? Rei putus asa, ia tak dapat berbuat apapun.
Ia terdiam lama, duduk bersimpuh tepat di tempat saat ia membaca surat dari Bu Rosi. Setelah lama merenung, munculah satu nama. “Oom David” Rei begitu senang mengucapkan nama itu.
Rei bergegas ke kamar orang tuanya untuk mencari nomor telepon Oom David. Setelah lama mengacak-acak buku telepon ayahnya, akhirnya ia menemukan nama itu. Tanpa lama lagi, ia langsung memencet nomor yang tertera di samping nama David Herlambang.
“Tut…Tut…Tut…” Angkatlah, aku mohon, pinta Rei dalam hati sambil menunggu teleponnya terangkat.
“Hallo” Suara ramah menyapa dari seberang telepon. Itu pasti Tante Sonia.
“Tante….” Jawab Rei dengan nada gemetar. Entah kenapa tiba-tiba kerongkongannya tercekat, dan tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Siapa ini?”
Rei terdiam sejenak, menahan isak tangisnya. “Tante, ini Rei. Oom David ada?” Tanyanya dengan sekuat tenaga menahan tangis.
“Ada. Ada apa Rei?” Rupanya Tante Sonia penasaran juga dengan maksud Rei. Untuk apa ia menanyakan suaminya?
“Saya ingin bertemu kalian berdua” Jawab Rei langsung pada pokok pembicaraan.
“Iya, tapi ada apa?” Dasar Tante Sonia, disaat genting seperti ini masih banyak nanya. Gak tau apa, Rei sudah meneteskan air mata tuh, kebingungan.
“Tante…..” Rei tidak bisa juga menahan isaknya yang tertumpah saat itu juga. Kemudian dengan terbata-bata ia menceritakan semua masalahnya.
Tante Sonia tidak dapat banyak merespon, namun ia tau benar kesedihan Rei. Dan dengan bijaksana, ia berjanji akan menemui Rei secepatnya bersama suaminya.
Akhirnya, lega juga setelah bercerita pada Tante Sonia. Dia memang baik dan pengertian, bijaksana lagi. Rei jadi ingat ibunya. Semoga Allah memberikan tempat yang baik untuk kalian.

Senin, 24 September 2012

1 Heart 3 Boys (Bagian 1 part II)



Rei sangat lelah sekali. Bukan karena telah berlari berkilo-kilo meter, tapi telah menangis berjam-jam sampai suaranya serak. Walaupun matanya telah membengkak, namun air matanya belum juga kering.
Saat ini Rei tak dapat melakukan apapun, hanya berbaring ditemani lamunan dan angan-angan. Tak ada yang tersisa di rumah ini, yang ada tinggal kenangan.
Sejenak kemudian, ia perhatikan kebaya hijau yang tergantung di lemarinya. Kebaya itu adalah hasil jahitannya sendiri, yang akan ia hadiahkan untuk ibunya di hari ulang tahunnya. Dan hari itu adalah “Hari ini…”, bisik Rei kemudian, dalam isak tangis yang tak terbendung. Sudah dari kemarin, ia ingin sekali memberikan kebaya itu untuk ibunya. Namun, ia tahan sampai hari ini. Tapi, kini semuanya terlambat, ia tak dapat lagi memberikan hadiah itu selamanya untuk ibunya. Baju itu hanya akan tergantung selamanya di lemari pakaian Rei.
Sampai jarum jam menunjukkan angka satu, Rei masih terjaga. Malam ini rumah sepiiii sekali. Tak ada suara ayah yang memarahinya melihat ia belum tidur hingga larut. Walau ia tak tidur sekalipun, tak akan terdengar suara itu lagi. Tak ada sentuhan lembut ibu di kepalanya untuk membuatnya tertidur. Karena meskipun Rei beranjak dewasa, ia sangat manja sekali pada ibunya, dan sering ditemani tidur oleh ibunya. Dan yang paling menyedihkan, tak ada lagi ucapan “selamat malam”. Yang terdengar hanyalah suara nafas dan isak tangis yang lembut dari bibir Rei, serta detakkan jarum jam di kamarnya.
Sejenak kemudian lamunan Rei terusik oleh kata-kata Oom David dan Tante Sonia tadi, “Apa maksudnya mengajak aku ikut dengan mereka?” gumamnya bingung. “Apa artinya aku akan diajak ke rumahnya dan tinggal bersama mereka? Tidak mungkin, ….” Lanjutnya terhenti. “Atau jangan-jangan, mereka mau mempekerjakanku? Sebagai pembantu mungkin?” Apakah nasib Rei seburuk itu?
“Wuamhmh” Akhirnya Rei mengantuk juga, dan mulai tertidur. Sebelum ia memejamkan mata ia berdo’a dalam hati, semoga apa yang dilaluinya hari ini adalah sebuah mimpi buruk. Dan semoga saat ia terbangun, semuanya normal kembali.
“Selamat malam ayah, selamat malam ibu, semoga aku memimpikan kalian”.

Aku menangis
Aku bersedih
Aku kecewa
Aku merana
Aku sendiri
Ayah, ibu,
Begitu cepat kalian tinggalkanku,
Sendiri….