Tepat pukul
tujuh malam, makan malam telah siap sedia setiap saat. Eh salah, telah siap di
meja makan maksudnya. Beberapa makanan memenuhi meja yang berukuran besar itu.
Rei segera duduk di sebelah kanan Oom David yang sudah sejak tadi menunggu. Di
susul semua penghuni rumah ini. Tapi, masih ada yang kurang. Kata Tante sonia,
dia punya tiga anak, tapi dari tadi Rei baru melihat Nuri dan Sinta saja, lalu
satu lagi ke mana ya? Rei jadi penasaran. Kata Tante Sonia, anaknya ada, tapi
kok belum terlihat sejak Rei datang tadi pagi.
“Sinta, mana
kakakmu?” Tanya Oom David pada anak keduanya yang masih bertampang judes itu.
“Gak tau!” Jawabnya
tegas. Sepertinya ia gak rela duduk sebelahan sama Rei.
“Rei, kamu mau
panggil Kak Gian? Kamu kan
belum bertemu dia, sekalian kenalan!” Pinta Tante Sonia yang segera dijawab Rei
dengan anggukan dan senyuman.
“Kamarnya ada
di depan kamar kamu” Lanjutnya kembali.
Rei segera
memenuhi permintaan Tante Sonia. Ia penasaran juga sama anak tertua Tante
Sonia, apa tampangnya lucu kayak Nuri? Atau jutek kayak Sinta?
“Tok..Tok…Tok”
Rei mengetuk pintu kamar yang bertuliskan “Don’t Enter Promiscuously”. Sok privasy
banget ya? Emang dia orang penting apa?
Suara ketukan
pintu membuyarkan konsentrasi Gian. Ia paling tidak suka diganggu, apalagi saat
serius seperti ini, saat ia menyelesaikan salah satu lukisannya.
Klek! Reipun
memberanikan membuka pintu, setelah lama berdiri mematung di depan pintu yang
tak kunjung dibuka. Begitu ia membuka lebar pintu itu, ia langsung disambut
dengan tatapan tajam dari seorang anak lelaki yang sedang duduk di lantai. Ia
memakai t’shirt biru yang cocok sekali di kulitnya yang kuning kecoklatan.
Rambutnya di BT, dengan poninya yang sedikit menghalangi mata elangnya. Garis
wajahnya dan rahangnya yang keras, memperlihatkan bahwa ia bukan orang yang
bisa beramah tamah. Sepertinya, ia sedang melakukan sesuatu. Namun Rei tak
begitu jelas melihatnya karena terhalangi tempat tidur yang lebar.
Gian menatap
Rei dengan sangat tajam, laksana mata elang yang sedang mengincar mangsanya.
Apa Rei mau ditelan? Tapi kayaknya gak muat deh dimulut dia.
Dalam
kemarahannya, ia juga kaget melihat seorang gadis berdiri di ambang pintu
kamarnya. Gadis yang belum ia kenal. Dari mulut gadis yang mungil itu,
mengembang senyuman yang manis. Wajahnya tampak fraternizing banget, walaupun di depannya ada sepasang mata yang menghujam
ke arahnya. Tubuhnya tidak begitu tinggi, kulitnya cukup putih, hidungnya
mancung, dan rambutnya yang tidak begitu tebal menjuntai sampai punggunya,
membuat ia terkesan anggun. Ditambah lagi kemeja chiang’i dan rok selutut yang
dikenakannya membuat Gian kagum. Sejenak kemudian tatapan tajam dari mata Gian
meneduh. Dalam matanya ia menerawang jauh ke belakang, dan teringat satu nama….
SUCI.
“Kak Gian?” Gadis
itu membuyarkan lamunan Gian. Kenapa dia
tau namaku? Siapa dia?, pikir Gian
Rei jadi bingung
melihat tatapan Gian yang susah diartikan, antara marah dan sedih. “Maaf, saya
mengganggu” Rei membungkuk pelan, kemudian ia mendekati Gian yang masih lekat
menatapnya. “Kenalkan, saya Rei. Oom sama Tante sudah menceritakannya, kan?” Sapa Rei dengan
gayanya yang ramah sambil mengulurkan tangannya.
Namun sayang,
sekali lagi uluran tangannya tak dibalas. Kenapa orang-orang di rumah ini pelit
banget salaman sih? Tangan Rei kan
tanpa kuman.
Rei merasa
kecewa untuk yang kedua kalinya. Namun, begitu ia melihat beberapa karya
lukisan yang berderet di atas lantai, ia jadi kagum pada orang yang masih tak
henti-hentinya menatapnya itu.
“Oom dan Tante
sudah menunggu Kak Gian di bawah untuk makan malam” Sapanya lagi. Namun Gian
tak berkata apapun, ia malah melanjutkan pekerjaannya.
Rei jadi
bingung harus berkata apalagi. Sejak tadi omongannya tak di tanggapi. Lebih
baik, ia keluar aja deh.
Setelah
menutup pintu dengan sangat hati-hati, ia kembali membaca tulisan yang ada di
depan pintu itu. udah tau di tulis jangan masuk sembarangan, Rei main masuk
aja. Jadinya kena marah deh.
Tak lama
setelah Rei kembali duduk di tampatnya semula, Gian menyusulnya. Datang juga si
mata elang ini.
Gian kemudian
duduk tepat di hadapan Rei. Seperti yang dilakukannya tadi, ia kembali menatap
Rei dengan tajam. Rei jadi salting nih, masa mau makan aja diliatin. Emang muka
Rei kayak ayam goreng ya, jadi pengen nelen? Iiiiiihhhhh, Rei jadi merinding
membayangkannya.
Bersambung.....