Rabu, 10 Oktober 2012

1 Heart 3 Boys (Bagian 1 Part VII)



Tepat pukul tujuh malam, makan malam telah siap sedia setiap saat. Eh salah, telah siap di meja makan maksudnya. Beberapa makanan memenuhi meja yang berukuran besar itu. Rei segera duduk di sebelah kanan Oom David yang sudah sejak tadi menunggu. Di susul semua penghuni rumah ini. Tapi, masih ada yang kurang. Kata Tante sonia, dia punya tiga anak, tapi dari tadi Rei baru melihat Nuri dan Sinta saja, lalu satu lagi ke mana ya? Rei jadi penasaran. Kata Tante Sonia, anaknya ada, tapi kok belum terlihat sejak Rei datang tadi pagi.
“Sinta, mana kakakmu?” Tanya Oom David pada anak keduanya yang masih bertampang judes itu.
“Gak tau!” Jawabnya tegas. Sepertinya ia gak rela duduk sebelahan sama Rei.
“Rei, kamu mau panggil Kak Gian? Kamu kan belum bertemu dia, sekalian kenalan!” Pinta Tante Sonia yang segera dijawab Rei dengan anggukan dan senyuman.
“Kamarnya ada di depan kamar kamu” Lanjutnya kembali.
Rei segera memenuhi permintaan Tante Sonia. Ia penasaran juga sama anak tertua Tante Sonia, apa tampangnya lucu kayak Nuri? Atau jutek kayak Sinta?
“Tok..Tok…Tok” Rei mengetuk pintu kamar yang bertuliskan “Don’t Enter Promiscuously”. Sok privasy banget ya? Emang dia orang penting apa?
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Gian. Ia paling tidak suka diganggu, apalagi saat serius seperti ini, saat ia menyelesaikan salah satu lukisannya.
Klek! Reipun memberanikan membuka pintu, setelah lama berdiri mematung di depan pintu yang tak kunjung dibuka. Begitu ia membuka lebar pintu itu, ia langsung disambut dengan tatapan tajam dari seorang anak lelaki yang sedang duduk di lantai. Ia memakai t’shirt biru yang cocok sekali di kulitnya yang kuning kecoklatan. Rambutnya di BT, dengan poninya yang sedikit menghalangi mata elangnya. Garis wajahnya dan rahangnya yang keras, memperlihatkan bahwa ia bukan orang yang bisa beramah tamah. Sepertinya, ia sedang melakukan sesuatu. Namun Rei tak begitu jelas melihatnya karena terhalangi tempat tidur yang lebar.
Gian menatap Rei dengan sangat tajam, laksana mata elang yang sedang mengincar mangsanya. Apa Rei mau ditelan? Tapi kayaknya gak muat deh dimulut dia.
Dalam kemarahannya, ia juga kaget melihat seorang gadis berdiri di ambang pintu kamarnya. Gadis yang belum ia kenal. Dari mulut gadis yang mungil itu, mengembang senyuman yang manis. Wajahnya tampak fraternizing banget, walaupun di depannya ada sepasang mata yang menghujam ke arahnya. Tubuhnya tidak begitu tinggi, kulitnya cukup putih, hidungnya mancung, dan rambutnya yang tidak begitu tebal menjuntai sampai punggunya, membuat ia terkesan anggun. Ditambah lagi kemeja chiang’i dan rok selutut yang dikenakannya membuat Gian kagum. Sejenak kemudian tatapan tajam dari mata Gian meneduh. Dalam matanya ia menerawang jauh ke belakang, dan teringat satu nama…. SUCI.
“Kak Gian?” Gadis itu membuyarkan lamunan Gian. Kenapa dia tau namaku? Siapa dia?, pikir Gian
Rei jadi bingung melihat tatapan Gian yang susah diartikan, antara marah dan sedih. “Maaf, saya mengganggu” Rei membungkuk pelan, kemudian ia mendekati Gian yang masih lekat menatapnya. “Kenalkan, saya Rei. Oom sama Tante sudah menceritakannya, kan?” Sapa Rei dengan gayanya yang ramah sambil mengulurkan tangannya.
Namun sayang, sekali lagi uluran tangannya tak dibalas. Kenapa orang-orang di rumah ini pelit banget salaman sih? Tangan Rei kan tanpa kuman.
Rei merasa kecewa untuk yang kedua kalinya. Namun, begitu ia melihat beberapa karya lukisan yang berderet di atas lantai, ia jadi kagum pada orang yang masih tak henti-hentinya menatapnya itu.
“Oom dan Tante sudah menunggu Kak Gian di bawah untuk makan malam” Sapanya lagi. Namun Gian tak berkata apapun, ia malah melanjutkan pekerjaannya.
Rei jadi bingung harus berkata apalagi. Sejak tadi omongannya tak di tanggapi. Lebih baik, ia keluar aja deh.
Setelah menutup pintu dengan sangat hati-hati, ia kembali membaca tulisan yang ada di depan pintu itu. udah tau di tulis jangan masuk sembarangan, Rei main masuk aja. Jadinya kena marah deh.
Tak lama setelah Rei kembali duduk di tampatnya semula, Gian menyusulnya. Datang juga si mata elang ini.
Gian kemudian duduk tepat di hadapan Rei. Seperti yang dilakukannya tadi, ia kembali menatap Rei dengan tajam. Rei jadi salting nih, masa mau makan aja diliatin. Emang muka Rei kayak ayam goreng ya, jadi pengen nelen? Iiiiiihhhhh, Rei jadi merinding membayangkannya.

 Bersambung.....

Senin, 01 Oktober 2012

1 Heart 3 Boys (Bagian 1 Part VI)



Rumah yang ada di hadapan Rei benar-benar menakjubkan. Terlihat jelas dari warnanya yang kontras, putih, melambangkan kemegahan. Apalagi konstruksinya, tiga tingkat bho! Tamannya luas, ditumbuhi banyak sekali bunga-bunga yang berwarna-warni. Kebanyakan sih, bunga anggrek. Mau jualan kali ya, hehehe.
Begitu Rei masuk ke dalam rumah, ia tambah kagum, sampai tidak sadar kalo mulutnya terbuka. Awas Rei, ada lalat masuk!
Perabotan di rumah itu benar-benar tertata apik. Sebagian terbuat dari marmer dan sebagian lagi terbuat dari keramik China. Di lemari raksasa yang ada di dinding sebelah kanan ruang tamu, berderet bermacam-macam kristal. Kayaknya, selain hobi berkebun, Tante Sonia pasti mengkoleksi kristal. Habis, banyak banget benda mengkilap itu.
“Hai” Seorang anak kecil menyapa Rei dengan ramah. Ini pasti Nuri. Tante Sonia memang sudah bercerita banyak tentang keluarganya, sehingga Rei tau.
“Hai. Kamu pasti Nuri?” Rei berusaha terlihat lembut dan baik kepada anak kecil itu. Maklum, pandangan pertamakan harus menggoda. Selanjutnya… terserah anda. Kok jadi iklan, ya?
Memasuki ruang keluarga, tampaknya tidak ada perubahan dalam tatanan ruangannya, masih mewah dan megah. Hanya saja di tambah sebuah TV Flat berukuran raksasa, DVD plus rak koleksi film, tape recorder, dan tak lupa sepasang sound yang gede-gede di pinggirnya.
Di pojok kiri ada sebuah sofa lengkap dengan telepon wereless, yang kini di pegang oleh seorang anak perempuan berambut panjang. Tampangnya agak mirip dengan Tante Sonia. Begitu ia melihat Rei, mimik mukanya langsung berubah, seperti mengisyaratkan kebencian. Namun Rei tidak merasa terganggu.
“Sinta, kenalkan, ini Rei! Yang Mama ceritakan kemarin” Tante Sonia memperkenalkan Rei pada anaknya yang kedua.
Anak yang bernama Sinta itu tetap duduk di kursi, setelah menutup teleponnya.
“Hai, aku Rei” Rei mendekati Sinta dan memperkenalkan dirinya secara langsung, dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Tak lupa iapun mengulurkan tangan kanannya pada Sinta.
Rei berharap, mimik muka anak itu akan berubah. Namun malah sebaliknya, ia bahkan tidak membalas uluran tangan Rei, dan semakin menunjukan kebenciannya kepada Rei. Namun Rei tetap tenang dan sabar. Sinta kemudian melangkahkan kakinya menuju tangga, yang segera dihentikan oleh mamanya.
“Sinta! Kamu jangan seperti itu. Tidak sopan!” Bentak Tante Sonia.
“Ma, dari kemarin aku udah bilang kalo aku gak suka Mama bawa anak pungut itu kemari!” Jawab Sinta sambil menunjuk pada Rei.
Hati Rei sakit sekali di sebut sebagai anak pungut. Emang uang, di pungut di jalan. Rei kan dijemput dari rumah. Weee!!!
“Sinta! Jaga omongan kamu! Mulai sekarang, Rei akan menjadi kakak kamu!” Tante Sonia terlihat kesal sekali atas kelakuan anaknya.
“Terserah Mama deh. Yang pasti aku sama Kak Gian gak terima dia tinggal di sini. Apalagi menganggapnya kakak!” Sinta kemudian menatap Rei seperti meremehkan. Kemudian ia berlari menaiki anak tangga.
“Maafkan Sinta ya, Rei! Dia memang begitu” Tante Sonia mencoba menghibur Rei.
“Tidak apa-apa, Tante” Jawab Rei sambil tersenyum pilu. Nasib jadi anak angkat.