Lelah.
Itulah yang
dirasakan Rei beberapa hari ini. Rasanya, ia belum sanggup untuk ke sekolah.
Namun, ia sudah dua hari membolos. Walaupun perasaan Rei masih belum kuat, tapi
ia tidak boleh mengecewakan kedua orang tuanya untuk menuntut ilmu sebaik-baiknya.
Bijak banget ya!
Dengan tegar,
Rei berjalan menuju kelasnya, kelas XI IPA 6. Dari ambang pintu, ia meneliti kelasnya
yang sudah ramai dengan beberapa pengunjung. Ada yang sibuk dandan, ngerjain PR, atau
bahkan ngegosipin artis-artis yang lagi tenar (kayak infotainment-infotainment
di Tv itu, lho!!). Kelas ini, Rei sudah rindu sekali.
Begitu Rei
memasuki kelas, semua anak yang ada di kelas kontan menghentikan semua
aktifitasnya. Semua mata tertuju pada Rei, dengan tatapan penuh duka. Rei sedih
sekali melihat pemandangan yang memilukan ini. Tidak, aku tidak boleh menangis! Ucapnya mencoba menegarkan
hatinya.
“Reiiii”
Seseorang tiba-tiba saja berteriak dari luar kelas, dan langsung memeluk Rei
dengan erat.
“Shasa” Ucapnya
lirih. Walau Rei berusaha tegar, namun air matanya tak terbendung lagi. Iapun
menumpahkannya dipelukan Shasa, sahabat karibnya.
“Rei…hikhikhik….”
Shasa yang memang sensitif banget ikut-ikutan nangis sambil mempererat
pelukannya. “Gue se-dih banget-sama musibah lo!”
Rei tidak
dapat berkomentar apapun, karena ia sangat benci dengan kata-kata itu.
Seolah-olah semuanya tidak akan pernah berakhir.
Tak lama
kemudian, seseorang menepuk bahu Rei dengan lembut. “Sabar ya, Rei” Terdengar
suara yang tidak asing lagi di telinga Rei. Namun ia tak yakin.
Rei lalu
melepaskan pelukannya kemudian berbalik melihat orang yang baru saja
menghiburnya (sedikit). Seorang anak lelaki berambut spy yang tingginya
kira-kira 180 cm berdiri di hadapannya. Badannya yang berisi dan otot-ototnya
yang terlihat kuat membuat kesan yang macho banget. Dia adalah Daman, orang yang paling dibenci Rei. Namun saat ini,
yang dia lihat bukanlah mata Daman yang penuh dengan ide-ide jail, melainkan
mata penuh duka yang mendalam, seola-olah dapat menembus mata Rei yang
berlinang air mata.
“Rei, aku tau
kamu tidak punya siapa-siapa lagi. Tapi jangan khawatir, aku selalu ada untuk
kamu”
“Makasih”
Hanya itu yang keluar dari mulut Rei dengan senyuman yang pahit. Ya, mau bilang
apa lagi. Tidak mungkin kan,
Rei harus bergembira loka mendengar kata-kata “manis” dari si jail itu.
Tujuh jam
pelajaran sudah dilalui, namun tidak ada satu pelajaran pun yang menempel di
otak Rei. Pikirannya terus terfokus pada hal-hal yang telah dilaluinya. Apalagi
hari ini, Tante Sonia berjanji untuk menemuinya. Apa yang harus Rei lakukan?
Bel pulang pun
akhirnya berbunyi. Bel yang sangat dinantikan oleh Rei. Tidak biasanya ia
begitu lega mendengar bel yang nyaring itu.
Shasa
menggandeng Rei menuju tempat parkir. Ia menawarkan untuk mengantar Rei pulang,
demi keamanan katanya.
Begitu mereka
sampai di depan mobil Shasa, seseorang tiba-tiba sudah muncul di hadapan Rei.
“Rei, boleh
aku antar pulang?” Ajak Daman dengan nada
prihatin yang terdengar aneh. Perhatian atau cari perhatian?
Daman mau
mengantarkan Rei? Gak salah?. Rei jadi geli sendiri. Bagaimana tidak, untuk
bertemu dengannya saja Rei sudah sebel. Apalagi harus duduk di jaguar merah
yang mencolok itu bersama DAMAN, orang yang
paling Rei benci.
Dari kelas
satu saat mereka satu kelas, Daman sudah
mati-matian mengejar-ngejar Rei (maksudnya menyukai Rei, bukan main
kejar-kejaran). Dengan segala upaya, Daman
menarik perhatian Rei yang tak mendapat respon apapun. Pernah suatu hari,
berkibar sebuah spanduk sebesar bendera yang bertuliskan “MY GIRL, REI, I LOVE
YOU!”. Yang lebih parah, spanduk itu dikibarkan pada waktu apel pagi hari senin,
yang disaksikan oleh seluruh siswa, guru, bahkan kepala SMA 24. Gila kan? Dan tentu saja,
semua mata langsung tertuju pada satu orang, karena memang hanya satu orang di
sekolah itu yang bernama Reisya. Kebayang dong, muka Rei kayak gimana. Sudah
pasti malu seeeeeemalu-malunya. Bahkan kalo waktu itu Rei jadi kura-kura,
pengen deh memasukkan kepalanya ke dalam tempurung. Amit-amit deh, kalo
ngebayanginnya lagi. Bahkan gak sampai disitu, Rei juga diintrogasi sama kepsek
selama satu jam. Hampir semua pertanyaan dijawab Rei dengan kata “tidak tau”.
Memang dia gak tau apa-apa kok, apa yang harus dijawab?
Dua hari
setelah kejadian, dari salah satu anggota pengibar bendera yang di bujuk habis-habisan
melalui perjuangan yang keras, akhirnya Rei tau juga pelaku sadis itu. DAMAN SAGARA SAPUTRA.
Dan sekarang,
dengan tampang innocent dia mau nganter aku pulang? Sudah pasti jawabannya TIDAK.
“Gak usah,
makasih” Jawab Rei dengan nada sedikit lembut. Ia jadi tidak tega juga mau
nyemprot Daman dengan kata-kata “Aku gak sudi
dianterin sama kamu!” Rei segera menarik tangan Shasa yang sejak tadi hanya
bengong kayak orang pikun ngeliatin Daman.
Mungkin salut juga, Daman bisa berwajah lembut
(pikir Shasa lho, bukan Rei).
Setelah berada
di mobil Shasa, Rei menceritakan semua yang dialaminya dua hari ke belakang. Mulai
dari kado ultah untuk ibunya, kesedihannya ketika orang tuanya meninggal, surat peringatan Bu Rosi,
sampai Oom David dan Tante Sonia. Semuanya diceritakan se-detail mungkin,
dengan suara yang terpecah menahan sedih.
“Mungkin, Daman ada benarnya juga. Lo harus sabar!” Entah kenapa
malah kata-kata itu yang keluar dari mulu Shasa. Kok jadi belain Daman, ya?
Meskipun bukan
jawaban itu yang diinginkan Rei, tapi ia sedikit lega telah mencurahkan
perasaannya pada sahabatnya itu. Rei ngerti, pasti Shasa juga bingung harus
memberikan nasehat apa. Ini memang masalah yang tak seharusnya diterima seorang
anak yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Persoalan ini terlalu sulit untuk
dipecahkan, apalagi Rei tinggal sendiri. Mungkin, Rei memilih pasrah saja pada
apa yang akan terjadi nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar